Tanya-tanya pada Regis Machdy Seputar ‘Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia’

Sebagai seseorang yang menganggap membaca buku sebagai the fun temporary escape from this hectic world, saya memiliki wish-list setiap bulannya untuk membeli minimal satu buku baru. Ya, itu masuk dalam self-reward saya setelah melalui kurang lebih 20 hari dalam 4 minggu dengan mengaktualisasikan diri sebagai buruh korporat.

Apa hubungannya budget buku dan judul dari tulisan ini? Hehe.

Saya cukup beruntung memiliki teman-teman dan orang sekitar yang sudah sadar akan pentingnya kesehatan mental. Suatu sore sehabis jogging di taman komplek dan di tengah ketidak-sehat-sehat-amat-an udara ibu kota, saya melakukan panggilan video dengan bestie (istilah gaul sahabat) yang berada di pulau lain dan saat itu sedang menempuh kuliah magister untuk program Psikologi. Obrolan kami mengalir dari topik receh hingga mengenai gangguan mental yang membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Singkat cerita, ia mengenalkan saya dengan salah satu psikolog di konsultan tempat ia bekerja yaitu Kak Verty.

Takjub karena Kak Verty mau meluangkan waktunya di malam minggu untuk berdiskusi mengenai isu kesehatan mental (darisini pembaca akan menyimpulkan status romantika penulis dengan tidak ada rencana janjian di malam minggu). Lambat laun perbincangan kami mengerucut ke salah satu gangguan kesehatan mental, yakni depresi. Saya bukanlah orang yang memiliki kapabilitas untuk menjabarkan teori-teori mengenai hal ini. Namun, yang saya pahami melalui diskusi dengan beberapa profesional, depresi bukanlah hal yang bisa dianggap remeh karena memiliki potensi burukyakni merenggut nyawa. Saat itu, Kak Verty merekomendasikan buku berjudul “Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia” karya Regis Machdy. Setelah menutup telepon, saya langsung membuka website toko buku online dan melupakan wish-list bulan ini. Tindakan impulsif yang berakhir dengan memaksimalkan jam di sela-sela work from home dengan menamatkan buku tersebut (tolong siapapun pekerja yang membaca, jangan meniru perilaku buruk ini hehe).

Mayoritas orang-orang yang memberikan ulasan buku ini, mengatakan bahwa Regis menyediakan sebuah karya yang sangat membantu orang lain untuk melihat depresi dengan perspektif berbeda dan saya sangat mengamini pendapat ini. Depresi yang dulunya dianggap sebagai sebuah perasaan sedih, kegagalan dalam mengandalkan iman dalam menjalani hidup, dan stigma buruk lainnya, ia ubah dengan penjelasan ringan namun komprehensif dan mendalam. Saya yakin, tidak semua orang mau membaca buku dengan istilah-istilah yang tidak familiar di reseptor otak mereka. Namun, berbeda dengan buku bersampul putih ini, Regis dengan baik hatinya memberikan penjelasan-penjelasan untuk membantu pembaca agar tetap dapat mengikuti jalan ceritanya buku tersebut.

Loving the Wounded Soul secara spesifik membahas depresi berdasarkan dua sudut pandang yang ditulis oleh satu penulis yakni berdasarkan pengalaman individu sebagai penyintas dan juga sebagai akademisi yang bergelut di bidang kesehatan jiwa. Saya yang tertarik membuat ulasan buku ini kemudian mencoba memberi pesan pada penulis melalui media sosial dan beruntungnya saya mendapat respon positif darinya! Ia dengan baik hatinya mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan di tengah masa istirahatnya dari hingar bingar dunia maya.

Q:Kak, kapan pertama kalinya ide untuk menulis buku dengan tema depresi muncul?
A:Sejak tahun awal 2017 sudah terpikir untuk menulis, namun baru terealisasi di tahun 2019. Saat itu sedang di UK studi master dan hampir tidak bisa menyelesaikan studi karena depresi.  
Q:Adakah perasaan cemas atau takut orang-orang akan mengetahui Kakak sebagai penyintas depresi ketika buku ini dikenal luas bahkan menjadi national mega best seller?
A:Tidak ada perasaan takut karena sebelumnya sudah membuka cerita tentang pengalaman depresi di media social dan blog pribadi. Awalnya lumayan banyak juga yang menghujat (menyebut saya baper, kurang ibadah, dll). Tapi cukup senang juga karena banyak orang yang merasakan hal sama jadi tidak merasa sendirian dan bahkan mereka membalas komen-komen yang mencibir saya.  
Q:Saya takjub ada hampir 200 referensi yang Kakak cantumkan dalam buku ini, dengan banyaknya pustaka acuan tersebut, berapa lama proses menulis buku ini?
A:Menulisnya cukup singkat sih, hanya tiga bulan (begadang sampai jam 2 pagi tiap hari). Akan tetapi proses itu bisa singkat karena saya sudah mengalami depresi lebih dari 5 tahun serta sudah banyak sekali membaca literatur ketika S1 maupun S2 di bidang psikologi dan kesehatan mental.  
Q:Pada subbab 16, Kakak menyebutkan bahwa “Manusia Modern = Manusia yang Kekurangan Makna Hidup”. Bagi Kakak sendiri, apa itu makna hidup?
A:Makna hidup adalah ketika kita tahu untuk apa kita hadir di dunia ini. Manusia di abad ini, banyak yang merasa tidak memiliki makna hidup karena dinamika kehidupan yang begitu cepat dan juga pekerjaan yang bersifat sangat demanding sehingga membuat kita lupa siapa diri kita yang sebenarnya. Kita tidak punya waktu untuk menikmati interaksi dengan manusia-manusia lain, kita tidak punya waktu untuk mengapresiasi alam, kita tidak punya waktu untuk menjalani hal yang kita suka dan kita tidak punya waktu untuk berkarya. Akhirnya kita benar-benar tidak tahu arah hidup dan makna hidup kita.   
Q:Di bagian “Perspektif Global”, Kakak mengatakan kebangkitan kesadaran mental mulai ramai setelah beberapa figur publik mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Menurut Kakak, bagaimana perspektif Indonesia mengenai depresi?
A:Tidak jauh berbeda kok, khususnya kalau kita bicara anak muda ya. Berita di ranah internasional kan sampai juga ke anak-anak muda. Di Indonesia pun waktu itu sempat ada kasus bunuh diri juga yang sempat viral sehingga akhirnya perbincangan mulai marak. Belum lagi banyak juga seniman/artis yang mulai membahas kesehatan mental dalam karyanya, hal ini semakin mendorong diskusi aktif mengenai kesehatan mental di masyarakat.  
Q:Semakin maraknya orang yang berbicara isu kesehatan mental secara terbuka, bagaimana menurut Kakak dengan glorifikasi gangguan mental seolah hal ini menjadi trend dan mengesampingkan orang-orang yang benar-benar sedang mengalami gangguan tersebut?
A:Dua sisi ya, di satu sisi awareness makin meningkat. Di sisi lain, istilah-istilah kesehatan mental seperti depresi, inner child, panic attack seolah-olah menjadi sesuatu yang keren, patut dibanggakan dan harus ditunjukan. Ya tidak apa-apa yang penting kita tidak berhenti mengedukasi.  
Q:Pada bagian penutup, Kakak dengan gamblang mengizinkan depresi tetap integral sebagai bagian dari diri Kakak. Bagaimana proses penerimaan “depresi” dan buku “Loving the Wounded Soul” sebagai bagian dari diri Kakak?
A:Saya merasa memang tidak bisa pulih begitu saja, dan juga istilah ‘depresi’ dan nama ‘Regis’ sudah seperti satu paket. Tapi ke depan saya yakin saya bisa benar-benar pulih dari depresi. Hanya saja waktu menulis buku itu saya merasa saya pun masih struggling sehingga saya mengatakan bahwa saya masih mengizinkan depresi menjadi bagian dari diri saya. Lagi pula saya pun diundang di banyak talks dan seminar mengenai kesehatan mental, pastinya saya pun akan berbagi kisah depresi saya. Buku Loving the Wounded Soul pun dikenal masyarakat luas sebagai buku kesehatan mental yang ditulis oleh penyintas depresi, jadi ya saya sudah menyiapkan diri sejak awal bahwa label depresi pasti akan sangat kuat disematkan ke diri saya. Proses penerimaannya adalah proses panjang ketika saya berkonsultasi ke psikolog dan psikiater beberapa tahun serta ketika saya yakin menuliskan buku Loving the Wounded Soul.      
Q:Pertanyaan terakhir Kak untuk pembaca artikel ini, adakah buku yang menemani Kakak di kala episode depresif?
A:Ada, buku Sane New World karya Ruby Wax. Buku tersebut menjadi salah satu acuan saya untuk menuliskan buku mengenai depresi yang mengombinasikan kisah personal dengan studi ilmiah.

Itulah beberapa pertanyaan yang bisa saya tanyakan kepada beliau. Setelah menamatkan buku ini, emosi yang saya rasakan adalah kagum akan gaya penulisan yang ringan dan referensi yang luas dalam menulis buku dengan tema seserius ini, saya tidak heran buku ini menjadi national mega best seller. Buku ini sangat recommended untuk siapapun terlepas pernah atau tidak mengalami depresi. Melalui karyanya ini, Regis tak hanya berkontribusi dalam menghadirkan kesadaran akan kesehatan mental, namun juga memberi ruang bagi penderita gangguan untuk memaknai depresinya secara positif.

Sumber:

Machdy, R. 2019. Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia.

Trisina S

Trisina S Journalist of Rumah Millennials As electrical engineering graduate, she has particular interest in technology of both renewable and nonrenewable energy. She is keen on community involvement also reading novels when not spending time with errands.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close