Inilah Pentingnya Bagi Generasi ‘Millennial’ Melihat Kembali Akar Mereka Sebagai Pemuda Indonesia

Jakarta – RumahMillennials.com | Rumah Millennials bersama Yayasan Bung Karno dan Youth Lab Indonesia mengadakan bedah buku “Generasi Kembali Ke Akar” di Gedung Pola Jakarta, Sabtu 7 Maret 2020.

Dalam bedah buku ini, Muhammad Faisal sebagai penulis buku yang juga founder Youth Lab Indonesia bersama Taufan Teguh Akbari selaku founder Rumah Millennials menjadi pembicara utama, yang dimoderatori oleh Karina Soerja.

Buku “Generasi Kembali Ke Akar” merupakan buku kedua yang ditulis oleh Muhammad Faisal, setelah pada 2017 lalu menerbitkan buku “Generasi Phi”. Dalam buku keduanya, Faisal berfokus pada akar pemuda Indonesia dari sejarah para pendiri bangsa mulai dari tahun 1908 saat pertama kali berdiri beragam organisasi kepemudaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra, hingga menganalisa generasi yang tumbuh besar pasca reformasi 1998, yang kental dengan dunia digital.

Faisal menegaskan, terminologi “millennial” yang kerap didengungkan dalam 1 dekade ini merupakan adopsi teori generasi dari Amerika Serikat oleh William Strauss dan Neil Howe. Namun dalam kasus pemuda Indonesia, teori tersebut tidak bisa diterapkan begitu saja karena sejarah pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam terciptanya Republik Indonesia dari generasi ke generasi.

Pemuda Indonesia generasi Alpha (mereka yang masa mudanya tahun 1900 – 1930), mampu mengimajinasikan tentang Indonesia itu sendiri bahkan sebelum proklamasi, tepatnya pada era awal – awal berdirinya organisasi kepemudaan pada tahun 1908. Puncaknya terjadi pada kongres pemuda pada tahun 1928, saat itu para pemuda dari berbagai organisasi berdebat tentang ideologi dan imajinasi tentang seperti apa negara Indonesia itu nantinya. Di tengah perdebatan yang kian memanas, WR Supratman mulai memainkan biolanya dan memainkan suatu lagu yang nantinya menjadi lagu Indonesia Raya. Seni musik menyatukan pemuda Indonesia di tengah perbedaan, dan hal ini tidak terjadi di negara lain.

Setelah itu, pemuda Indonesia pula yang memaksa Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah berita kekalahan Jepang di perang dunia II tersebar. Kemudian, generasi muda Indonesia kembali mengubah banyak tatanan negera Indonesia pada aksi Reformasi 1998. Setelah rezim Soeharto berakhir dalam 32 tahun terakhir, Indonesia menjadi lebih terbuka dalam media dan pers, serta internet perlahan masuk ke Indonesia dan mulai digunakan oleh generasi phi yang saat itu masih usia remaja dan anak – anak.

Generasi phi yang tumbuh dalam pemerintah Abdurrahman Wahid hingga dua periode Susilo Bambang Yudhoyono, tidak lagi merasakan gejolak sosia-ekonomi serta politik seperti generasi – generasi seniornya. Hal itu dikarenakan pemerintah pada saat itu fokus untuk mengembalikan stabilitas ekonomi, politik, dan meningkatkan pertahanan negara. Generasi muda yang saat ini dikenal sebagai ‘millennial’ mendapatkan kebebasan mengakses informasi dari luar sehingga isu – isu pemahaman Pancasila dan ke-Indonesiaan pun naik ke permukaan.

Namun, dengan bebasnya melihat dunia luar dalam platform – platform digital seperti media sosial serta narasi revolusi industri 4.0, isu kesehatan mental pemuda generasi phi dan neo alpha (saat ini masih berusia pelajar dan mahasiswa) pun kian meningkat. Pencarian jati diri tentang siapa jati diri mereka dan apa perannya di lingkungan sekitar, membuat beberapa pemuda kembali melihat akar dari Indonesia itu sendiri. Budaya nongkrong bersama teman – teman sambil berdiskusi, mendirikan komunitas dan gerakan sosial, dan kerap lantang saat menyuarakan suatu isu di media sosial semakin sering dilakukan.

Meskipun kemajuan teknologi kerap membantu kehidupan manusia, nyatanya manusia tidak selalu menginginkan untuk ikut dengan cepat bersama kemajuan teknologi setidaknya di Indonesia. Budaya gotong royong dan kolektifitas yang melekat dalam DNA pemuda Indonesia, tidak bisa digantikan oleh teknologi. Yang ada, teknologi hadir membantu pemuda Indonesia untuk mengundang pemuda lain agar mau ikut bergabung dalam proyek – proyek kolaborasi mereka serta berbagi pikiran mereka untuk kembali melihat akar Indonesia.

Ilustrasi Nongkrong. Lewat budaya nongkrong, generasi muda kerap menguatkan semangat gotong royong dalam merancang karya kolaborasi

Hal ini perlu dilakukan agar generasi phi yang nantinya akan memegang peranan penting dalam puncak bonus demografi, bisa mengimajinasikan Indonesia ke depannya. Menurut antropologi Margaret Mead, butuh tiga generasi yang hadir dalam satu zaman untuk memastikan nilai – nilai lama turun ke generasi muda. Jika melihat dari grafik generasi dari Neil How dan William Strauss, saat di puncak bonus demografi tahun 2030, generasi phi akan sendirian tanpa ada pendampingan dari generasi theta maupun generasi beta. Tentu hal ini akan mengkhawatirkan jika para pemuda Indonesia tidak menggali akarnya dari sekarang selagi generasi senior masih bisa mendampingi mereka dalam proses bertumbuh dan belajar.

Menurut Faisal, jika generasi muda yang sekarang tidak melihat dan meresapi nilai – nilai dari akarnya sebagai pemuda Indonesia, maka nantinya akan mengimajinasikan Indonesia ke sesuatu yang asing. Jika ingin mengimajinasikan membawa Indonesia ke depan, harus tahu akar dari Indonesia ini agar memiliki fondasi yang kuat.

Selain itu, Faisal juga mengingatkan agar pemuda Indonesia menciptakan memori kolektif seperti generasi – generasi muda sebelumnya. Sumpah Pemuda, Pancasila, proklamasi, sampai reformasi 1998 merupakan bentuk gerakan yang berawal dari memori kolektif anak muda. Faisal optimis, dengan budaya nongkrong yang masih sering dilakukan para pemuda, nantinya akan tercipta memori kolektif yang akan menjadi imajinasi Indonesia ke depannya.

Buku ‘Generasi Kembali Ke Akar’ sangat saya rekomendasikan untuk sobat millennials. Dalam buku ini, kamu akan menemukan sudut pandang pemuda yang lebih luas, yang jarang disuarakan oleh para praktisi, pemerintah, dan media yang kerap kali menjadi generasi muda sebagai objek. Penelitian tentang pemuda dari akarnya sampai apa yang terjadi hari ini dan ke depannya tersaji dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh siapapun. Jika kamu masih ngaku pemuda Indonesia, kamu harus membaca buku ini sehingga kamu dapat memahami bahwa dirimu sebagai pemuda punya peranan penting dalam kemajuan Indonesia.

Audi Rahmantio

Journalist and Publication Coordinator at Rumah Millennials The man who love to share about interesting and unique story of Indonesia as well as youth development through youth organization community. Currently, Audi started his career as public speaker in radio and being freelance MC and Moderator for several events

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close