Millennials Kota New York

 MILLENIALS KOTA NEW YORK

Banyak orang berpergian untuk keliling dunia. Namun sebaliknya, ketika kamu berada di kota New York, dunia terasa mengelilingi kamu. Dengan tingginya angka imigran dan komunitas internasional yang bermukim di New York, cukup sulit untuk fokus pada generasi millennial negara tertentu. Untuk membuat pengamatan umum bahkan untuk millennial Amerika pun cukup menantang, karena teman-teman saya berasal dari berbagai negara bagian, tidak semua orang Amerika berkulit putih dan banyak diantaranya yang berkewarganegaraan ganda. Namun pada umumnya, kaum millennial sepantaran saya (24-30 tahun) yang tinggal di Kota New York dipengaruhi oleh beberapa faktor (yang mungkin tidak eksklusif terjadi di kota ini saja), yaitu:

  1. Waktu

Pada umumnya kaum millennial New York selalu harus berpergi ke satu tempat ke tempat lainnya, dan ini berpengaruh pada gaya berjalan mereka yang super cepat. Hal ini mungkin juga dipengaruhi dengan kondisi tempat tinggal yang sempit sehingga banyak millennial yang memilih untuk keluar dari kamarnya. Kamu tidak akan pernah bosan untuk menjelajahi kota karena selalu ada konser, pameran, seminar, atau kegiatan yang bermunculan. Tak heran, akan mudah membedakan antara turis dan bukan turis dari gaya berjalannya. Selain itu, karena sistem transportasi di Kota New York cukup baik karena untuk sekian kilometer pasti ada stasiun kereta atau bis, mereka selalu memperhitungkan waktu tempuh perjalanan dan memprioritaskan kereta cepat jika perlu. Mungkin juga karena kultur kotanya menuntut untuk selalu serba cepat, jadi lucu juga ketika mereka mengomel kalau keretanya telat sepuluh menit atau mereka bela-belain pakai kereta cepat ketimbang kereta lokal karena untuk terkadang selisih waktunya hanya 10-15 menit ketimbang pakai kereta lokal.

  1. Keberagaman

Kota ini terdiri dari beragam “kelurahan” atau neighborhoods yang mayoritas dihuni oleh kelompok etnis atau ras tertentu. Ada Little Italy, K-Town, Little Syria, komunitas masyarakat Indonesia yang banyak terdapat di Queens, Chinatown, populasi hispanik di Hamilton Heights, Hasidic Jews di Wiliamsburg, African-Americans di Harlem dan seterusnya. Tapi, perlu dicatat bahwa sejak tahun 2000an, gentrifikasi semakin gencar dan pola pembangunan propertinya dan arus bisnis dalam kota terus berubah. Oleh karenanya, tidak ada kelompok tertentu yang benar-benar hanya ada di neighborhood tertentu. Toleransi selalu ditekankan di sekolah, dan ini diperkuat dari penetapan beberapa hari libur sekolah negeri seperti Idul Fitri dan Imlek. Akan sangat lumrah ketika kamu medengar pembicaraan-pembicaraan dalam bahasa non-Inggris di sini. Bnyak diantara mereka yang memiliki bahasa kedua seperti bahasa Spanyol, Mandarin dan Perancis.

  1. New York sebagai kota politik, finansial dan seni

Secara politis, terdapat Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan berbagai kantor Perutusan Tetap berbagai negara untuk PBB. Sementara Financial District dihuni oleh New York Stock Exchange, Federal Reserve Bank of New York dan Goldman Sachs. Sebagai kiblat dunia untuk urusan mode, butik-butik major fashion labels ada di sini, dan tenaga industri kreatifnya pun didukung dengan keberadaan berbagai sekolah musik, museum, sekolah desain dan teater. Kenyataan tersebut berdampak dari meningkatnya mobilitas kaum muda untuk belajar atau bekerja di kota ini.

Dengan memahami kondisi-kondisi tersebut, berikut beberapa hal yang saya pelajari dari millennials kota New York, tanpa menunjuk kewarganegaraan, gender, etnis dan ras tertentu, yaitu:

  1. Melek Teknologi dan Informasi

Millennials di mana pun akan sangat bergantung dengan gawai yang dimiliki. Penggunaannya tidak sebatas untuk tersambung dengan media sosial saja, tetapi juga untuk berbelanja online, menunggu bis datang, menghitung kalori dan denyut jantung, cek rating aplikasi tempat makan, dan masih banyak lagi. Ekstrimnya, ada juga teman yang mementingkan kuliah-pulang-kuliah-pulang sampai-sampai semua belanjaan dia pesan secara online untuk menghemat waktu. Ketergantungan ini ada plus minusnya, karena sewaktu saya nyasar lalu menanyakan arah, saya dapat beberapa jawaban ketus yang langsung mengarahkan saya untuk mengeceknya di ponsel, padahal saya kan pengen ngobrol sama manusia hehehe. Selain itu, karena sumber informasi serba online atau bisa ditanyakan via telepon, norma lumrah yang berlaku disini adalah bukan “malu bertanya sesat di jalan”, tapi “berusaha cari infonya dulu, baru bertanya.”

  1. Sadar akan Kesehatan dan lingkungan

Millennials kota New York gemar berolahraga dan memperhatikan diet. Ada yang datang ke kelas pagi dengan masih memakai baju olahraga dan banyak yang sadar akan pentingnya membentuk tubuh supaya berotot. Hal lain yang menarik adalah mereka memahami bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Dari segi diet, menu-menu di restoran banyak yang memberikan tanda atau opsi menu untuk mereka yang berhaluan vegetarian, vegan, bebas gluten, halal dan seterusnya. Pasar swalayan disini pun mendukung pilihan konsumsimu. Meskipun produk organik selalu akan jadi lebih mahal, karena taraf kemakmuran di sini lebih tinggi, jurang antara produk khusus dengan produk biasa kurang begitu jauh. Produk-produk superfood yang naik daun di Jakarta seperti chia, kacang almond, flax seeds, quinoa, dan acai pun cukup terjangkau. Hal tersebut cukup mendorong saya untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang produk-produk pangan Indonesia yang bisa disejajarkan dengan produk-produk superfood tersebut, yang umumnya produk impor.

  1. Egaliter

Secara umum, pola komunikasi di Amrerika cenderung santai. Tidak ada jarak berkomunikasi atau adat tata krama khusus dengan dosen maupun generasi yang lebih tua. Mereka cenderung lugas mengutarakan pendapatnya. Lingkungan akademik kampus mendorong para millennial untuk berargumentasi secara santun dan tidak mempermalukan lawan bicara dengan sudut pandang, tingkat pemahaman, pengalaman akademis atau latar sosio-ekonomis yang berbeda. Mahasiswa disini pun diajarkan untuk selalu memperhatikan konteks dari suatu diskusi, karena seringkali tidak ada jawaban hitam atau putih, benar atau salah, maupun pendapat yang benar-benar bebas dari bias pribadi.

  1. Mereka tahu apa yang mereka mau dan bersungguh-sungguh

Kota New York adalah kota yang keras karena kaum muda dari segala penjuru dunia bersaing dan berkolaborasi untuk mengejar aspirasinya masing-masing. Oleh karenanya, millennials kota New York memahami bahwa self-personal branding saja tidak cukup. Mereka sadar semuanya perlu proses, namun di saat yang bersamaan mereka harus berusaha untuk tidak tertinggal. Mereka juga rajin mengikuti acara networking, berkonsultasi dengan career services kampus, tidak eksklusif berdiam dengan komunitasnya sendiri, mencermati tren ketenagakerjaan dan memiliki rencana studi atau karir dengan plan A, plan B dan Plan C.

 

Author :

Ashila Reza berprofesi sebagai diplomat muda dengan spesialisasi sebagai Analis Hukum dan Perjanjian Internasional. Sebelum menempuh studi hukum internasional di Columbia Law School (New York, Amerika Serikat) melalui beasiswa LPDP RI, Penulis memperoleh pendidikan sarjananya dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Diantara begitu banyak hal yang bisa dilakukan dan digemari, Penulis menyukai seni kriya, memasak, berwisata dan berjejaring. Email: ashila.batc@gmail.com; linkedin: https://www.linkedin.com/in/ashilareza/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close