Sistem Tenaga Listrik Indonesia Harus Bisa Move On dari Sekarang

Bekasi – RumahMillennials.com | Friendly reminder, sebelum sobat millennials misuh-misuh mengenai artikel yang agak mirip dengan jurnal ilmiah versi belum direvisi dosen pembimbing, penulis hanya ingin membagikan hectic-nya neuron otak penulis bekerja di malam-malam sunyi gelap dengan overthink akan masa depan dunia. Terdengar terlalu berlebihan bukan? Namun, mari kita melakukan wisata masa lalu ke tahun 2019 dimana saat itu terjadi pemutusan sambungan listrik atau istilah umumnya yaitu mati lampu yang omong-omong ini tidak akan berkaitan dengan salah satu tembang pedangdut, Nassar, yakni Seperti Mati Lampu… Walau tak dipungkiri, kedua “mati lampu” ini memiliki kadar kehebohan masing-masing di tanah air.

Mati lampu kali ini sebetulnya dalam dunia kelistrikan lebih tepat jika disebut dengan blackout atau pemadaman massal. Tentu hal ini sangat berkontribusi pada kelangsungan industri dan kegiatan masyarakat, bahkan turut memeriahkan trending topic worldwide di media sosial Twitter. Ini merupakan peristiwa yang mengejutkan jika menilik 22 tahun ke belakang sebelum 2019, yakni terakhir kali Indonesia mengalami blackout.

Mungkin sobat millennials yang berada di luar Pulau Jawa-Bali acap kali atau paling tidak mengalami mati lampu lebih sering dibanding penduduk di pulau-pulau tersebut. Ya, tak dipungkiri ada ketimpangan dalam pengembangan teknologi kelistrikan antar pulau di Indonesia. Perlu diketahui, bahwa kelistrikan di Pulau Jawa-Bali adalah sistem integrasi atau interkoneksi. Sederhananya, sistem interkoneksi ini saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan beban listrik di pulau-pulau tersebut dengan terdiri dari puluhan pembangkit skala mikro maupun makro. Sistem interkoneksi sendiri harusnya sudah cukup efektif menjawab tantangan listrik dalam hal keandalan (kemampuan sistem untuk menyalurkan listrik ke semua titik penggunanya dalam standar dan jumlah yang sesuai atau bisa diterima)1. Misalnya, jika salah satu pembangkit listrik sedang ngambek sehingga tidak dapat beroperasi, maka pembangkit lainnya yang berperan sebagai backup power generation (pembangkit listrik cadangan) akan diaktifkan untuk menggantikan supply dari yang tidak aktif.

Kegagalan sistem listrik di tahun 2019 benar-benar di luar perkiraan para pekerja listrik Indonesia dan tentunya membuat kita semua dapat merenungkan “begitu vitalnya energi listrik dalam kehidupan kita ini”. Saya yakin pemadaman listrik selama 3 hari berturut-turut cukup untuk memberikan dampak yang signifikan di berbagai elemen masyarakat. Mulai dari bahagianya para pegawai startup digital yang akhirnya ‘terpaksa’ memiliki waktu tanpa ngoding setelah diburu oleh deadline bertubi-tubi, para selebriti Tiktok yang tidak bisa mengunggah konten barunya dan jika bisa pun traffic-nyapasti jatuh drastis, maupun anak-anak kost yang mau tidak mau agak effort membeli makanan karena tidak bisa hanya sekadar memesan melalui aplikasi daring, dan tentunya masih banyak dampak riil-nya yang akan lebih jelas dan terpercaya jika dipaparkan langsung oleh dosen pengampu mata kuliah Analisis Sistem Tenaga Listrik.

Faktanya, di antara banyaknya jenis pembangkit yang beroperasi di Indonesia, saat ini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih menjadi dominasi baik di Pulau Jawa-Bali dan pulau-pulau lainnya di Indonesia2,3. Tentu ini bukan tanpa alasan, PLTU dinilai memiliki kelebihan karena menggunakan bahan bakar batu bara yang lebih murah dibanding bahan bakar pembangkit lainnya dan pembangkit ini tidak bergantung pada cuaca bila dibandingkan dengan pembangkit dengan energi baru terbarukan (EBT). Menurut data International Energy Agency (IEA), batu bara adalah penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia4.

Emisi yang dihasilkan di Indonesia pun naik sangat tajam dari tahun 1990 hingga 2019 yakni sebesar 344,33% 5 ! Angka ini akan bergerak naik konsisten karena jumlah populasi manusia yang bertambah maka pertumbuhan sistem tenaga listrik pun akan merangkak naik ke atas. Seharusnya, ini sudah menjadi peringatan serius bagi semua orang terlepas apapun posisinya saat ini bahwa emisi ini akan terus tumbuh menjadi angka yang besar dan membahayakan.

Sayangnya, dampak yang dirasakan detik ini mungkin tidak terlalu kentara. Yang perlu disadari, manusia tidak hanya hidup untuk hari ini. Masih ada tahun-tahun di depan yang akan terancam jika sumber energi tak terbarukan masih terus menjadi tumpuan utama sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Keresahan kolektif ini memunculkan konsep transisi energi yang sedang digalakkan di seluruh dunia melalui Paris Agreement hasil dari konferensi COP 21 Paris yang kemudian disepakati oleh 196 negara, termasuk Indonesia.

Apa sih isi dari Paris Agreement tersebut? Secara garis besar tujuannya adalah untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celcius pada tingkat praindustri, jika memungkinan hingga 1,5 derajat Celcius6. Menurut The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), hampir semua model prediksi saintifik menunjukkan jika dunia dapat menjaga perubahan iklim hingga 1,5 derajat pemanasan maka akan menghasilkan transisi dunia ke sistem energi nol karbon pada tahun 20507.

Meskipun begitu, transisi energi bukanlah satu isu sederhana yang bisa diselesaikan dengan satu jenis pendekatan, melainkan butuh berbagai disiplin ilmu dalam penyelesaiannya. Dalam hal teknikal atau engineering, pemanfaatan energi baru terbarukan perlu dikembangkan dan tentunya selaras dengan implementasi teknologi yang memadai. Jika berbicara mengenai kebijakan, maka regulasi yang dibentuk dari pembangkitan, transmisi, hingga distribusi listrik perlu diperhatikan. Begitu pula dengan awareness dari para pekerja profesional, pemangku kebijakan, hingga masyarakat. Semua perlu sadar akan pentingnya transisi energi menuju clean energy. Sebetulnya, itu hanya 3 elemen yang terpikirkan oleh penulis di tengah malam dengan setoples nastar hadiah Lebaran dari kolega kerja. Artikel ini akan bertransformasi menjadi buku setebal novel Harry Potter and the Half-Blood Prince jika penulis memaparkan semua kemungkinan elemen yang berkaitan.

Sadar akan banyaknya jumlah baris yang akan dimasukkan ke to-do-list kita untuk merealisasikan transisi energi, maka waktu akan menjadi satu variabel penting untuk dipertimbangkan disini. Analoginya, seorang pemuda/i yang patah hati (jika ga buaya-buaya amat) normalnya akan memerlukan waktu untuk move on ke lain hati karena ia perlu menata hatinya kembali sebelum memulai hubungan yang baru. Saya sadar betul ini sudah terlampau di luar konteks tema kritikal mengenai isu penting dunia, jadi mari kembali berpikir serius. Transisi energi khususnya di Indonesia yang semulanya mayoritas menggunakan PLTU, dengan konsekuensi emisinya, sudah sangat pantas untuk dilakukan dengan beralih selangkah demi selangkah ke energi ramah lingkungan. Apalagi dengan sistem interkoneksi, perubahan-perubahan pembangkit akan memengaruhi keseluruhan sistem untuk memenuhi kebutuhan beban listrik masyarakat.

Jadi, sudah jelas bukan? Yang akan mendapatkan dampak adalah masyarakat, yakni kita semua. Oleh karena itu, khususnya generasi muda memiliki potensi untuk menciptakan dampak yang berarti dan bertahan lama di komunitas mereka dan di seluruh dunia dengan pengetahuan dan alat yang tepat8. Jangan sampai keikutsertaan Indonesia dalam Paris Agreement hanya sebatas “mengimplementasikan” sumber energi terbarukan, namun tidak sepenuhnya melaksanakan “transisi energi” itu sendiri.

Sources:

[1] Khalid, H. 5th October 2022. “Seberapa Penting Keandalan Sistem Tenaga Listrik?” on https://environment-indonesia.com/seberapa-penting-keandalan-sistem-tenaga-listrik/

[2] Badan Pusat Statistik. 2020. “Kapasitas Terpasang PLN menurut Jenis Pembangkit Listrik (MW), 2018-2020” on https://www.bps.go.id/indicator/7/321/1/kapasitas-terpasang-pln-menurut-jenis-pembangkit-listrik.html

[3] Transisi Energi.id from Worldbank, ESDM. 2020. “Bauran Pembangkitan listrik di Indonesia”  on https://transisienergi.id/data_input/bauran-pembangkitan-listrik-di-indonesia/

[4] International Energy Agency. 2019. “Greenhouse Gas Emissions from Energy” onhttps://www.iea.org/data-and-statistics/data-product/co2-emissions-from-fuel-combustion

[5] International Energy Agency. 2019. “Indonesia: Key Energy Statistics, 2019” on

https://www.iea.org/countries/indonesia

[6] United Nations Climate Change. “The Paris Agreement” on https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement

[7] International Energy Agency. May, 2021. “Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector” on https://www.iea.org/reports/net-zero-by-2050

[8] Student Energy Fellowship. January, 2022. Track 1 Monthly Courses: Energy Systems 101. Vancouver: Student Energy.

Trisina S

Trisina S Journalist of Rumah Millennials As electrical engineering graduate, she has particular interest in technology of both renewable and nonrenewable energy. She is keen on community involvement also reading novels when not spending time with errands.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close