Refleksi Hari Kartini, Menyoal Tentang Standar Kecantikan yang Harus Ditinggalkan

Ditulis oleh: Rio Ananda Andriana

Di zaman kontemporer ini semakin banyak masyarakat yang memperingati Hari Kartini
dengan berlomba-lomba memakai atribut yang keren. Akan tetapi, pada dasarnya esensi dari Hari
Kartini adalah soal mempelajari pemikiran-pemikiran Kartini yang tak lekang oleh zaman,
bukannya saling beradu atribut untuk siapa yang paling keren dan cantik. Banyak sekali
pemikiran dari Kartini yang bisa kita pelajari, dari mulai hak pendidikan yang sama untuk
perempuan hingga pentingnya kesetaraan gender pada masyarakat. Namun, pada kenyatannya
di zaman ini, masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan, akses
perempuan masih cukup dibatasi di masyarakat, dan masih dilanggengkannya hierarkis dan
beberapa standardisasi di masyarakat.

Kartini merupakan salah satu sosok pahlawan perempuan yang memperjuangkan
emansipasi perempuan. Kartini terlahir di Jepara dan berasal dari keluarga priyayi/bangsawan
Jepara, yang mana ayahnya merupakan seorang Bupati Jepara. Pada zaman tersebut, lebih
tepatnya pada abad ke-19, kesempatan akses bagi perempuan, terutama perempuan di
masyarakat masih sangat terbatas dan selalu mengedepankan laki-laki. Perempuan dikekang
oleh kebudayaan yang sudah mengikat dan turun temurun yang diciptakan oleh kolonialisme,
yang mana perempuan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan tugasnya hanya berada di
urusan domestik saja. Bahkan, ada ungkapan “swargo nurut neroko katut” yang mempunyai
arti, kebahagiaan dan penderitaan istri tergantung suami.

Selain itu, pada abad ke-19 juga muncul standar-standar tertentu yang dibuat oleh satu
kaum sosial. Melihat permasalahan tersebut, Kartini berkeyakinan untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan agar perempuan mempunyai hak yang setara di masyarakat. Berbagai
pemikirannya dia tulis dan kirim melalui surat-surat yang dibuatnya dan dikirim kepada
sahabat-sahabatnya di Belanda, termasuk kepada Estella Helena Zeehandelaar. Estella menjadi
tempat curhat Kartini dalam memikirkan setiap gagasannya, yang mana menentang budayabudaya yang merendahkan kaum perempuan. Kartini memang terlahir dari keluarga ningrat,
akan tetapi Kartini selalu memposisikan sebagai seorang yang sederhana, bahkan menurutnya
hanya ada 2 golongan bangsawan, yaitu bangsawan budi dan bangsawan pikiran. Tidak ada
bangsawan yang menindas rakyat. Dalam hal ini, Kartini memperjuangkan hak yang sama
untuk perempuan tanpa memandang status sosial apapun.

Jika melihat perbedaan antara zaman sekarang dan zaman ketika Kartini masih
memperjuangkan emansipasi perempuan, maka ada beberapa peningkatan. Diantaranya, akses
pendidikan dan literasi untuk perempuan menjadi lebih mudah walaupun masih tidak merata
di berbagai daerah dan pemimpin-pemimpin perempuan mulai hadir meskipun secara
persentase masih terdapat ketimpangan dengan kaum laki-laki, terlebih partisipasi dalam
bidang politik. Namun, setidaknya perjuangan Kartini menghasilkan cara pandang yang
relevan di zaman ini walaupun pada kenyataannya masih banyak ketidakadilan gender pada
perempuan di masyarakat kita, tentunya di momen memperingati Hari Kartini ini sangat cocok
untuk mempelajari pemikiran-pemikirinnya, agar kita semua bisa melanjutkan estafet
perjuangan Kartini di masa sekarang untuk mendobrak penindasan terhadap perempuan.

Problematik Standar Kecantikan Bagi Perempuan

Dalam realitasnya tetap saja masih ada standar-standar tertentu yang mengekang
perempuan, contohnya adalah perihal standar kecantikan. Pernyataan, bahwa perempuan yang
cantik adalah mereka yang berkulit putih dan mulus, mempunyai postur badan yang ideal dan
tinggi, mempunyai hidung yang mancung, serta memiliki senyuman yang indah. Standar
kecantikan tersebut menjadi problematik, karena perempuan terkekang dalam kondisi sosial
masyarakat yang memaksa mereka mengubah diri hanya berdasarkan tuntutan bukan kehendak
diri sendiri. Alhasil, para perempuan minim kebebasan untuk mengekspresikan dirinya sendiri,
bahkan kerap kali ada yang insecure karena hal tersebut.

Standar kecantikan yang sekarang melekat dan masih langgeng di masyarakat adalah
warisan kolonialisme Belanda. Dari sejak awal kemunculannya kekuasaan kolonialisme
Belanda di Indonesia telah menciptakan status-status sosial tertentu dan menempatkan bangsa
Eropa sebagai orang yang paling tinggi derajatnya, disusul oleh orang Tionghoa, dan orang
Pribumi yang paling rendah derajatnya. Hierarkis sosial tersebut tentu berdampak secara
langsung terhadap superioritas atas standar kecantikan, terutama orang yang berkulit putih atau
ras kaukasia. Bahkan, ketika itu ras kaukasia banyak mendapatkan hak istimewa dan selalu
diagungkan, seperti mendapatkan hak pendidikan dan pekerjaan yang lebih mudah. Hal ini
sangat jauh berbanding terbalik dengan perempuan pribumi yang mendapatkan akses hak yang
terbatas, sehingga pada masa kolonial, perempuan dengan kulut putih atau perempuan kaukasia
dijadikan sebagai simbol dan standar kecantikan.

Seiring berjalannya waktu, standar kecantikan sendiri semakin langgeng dengan
mengikuti dinamika di zaman sekarang. Standar kecantikan sekarang dibentuk juga oleh
media-media online, dengan kata lain standar kecantikan tetap dipertahankan oleh masyarakat
hingga saat ini. Tak banyak perempuan sekarang berlomba-lomba untuk menjadi perempuan
yang terlihat cantik sesuai tuntutan dari netizen (masyarakat online). Bahkan, sebenarnya
cantik menurut standarnya bisa dihasilkan dengan mudah menggunakan filter pada media
sosial tertentu. Bagi saya hal tersebut memang tidak menjadi masalah. Namun, di sisi lain
dalam hal ini perempuan tidak bisa percaya diri dengan tampilan yang mereka miliki dan akan
menjadi masalah jika standar kecantikan menimbulkan rasisme dan diskriminasi terhadap
perempuan. Diskriminasi atas dasar kecantikan tak jarang terjadi di media sosial, bahkan antar
perempuan pun saling menilai satu sama lain terkait dengan standar kecantikannya.

Sebenarnya satu hal yang harus dipahami, bahwa standar kecantikan bukan hanya soal
fisik. Masyarakat Indonesia di zaman sekarang memang kebanyakan menilai cantik hanya
sebatas melalui muka, kulit, dan hidunh. Cantik bisa diukur juga dari akhlak, adab, kepintaran,
dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut saya cantik itu relatif, bagaimana diri sendiri yang
menilai bukan berdasarkan penilaian dari orang lain.

Definisikan Cantik Sesuai Dirimu Sendiri

Standar kecantikan harus ditinggalkan. Standar tersebut hanya dapat menimbulkan
berbagai problematik di masyarakat, seperti banyak perempuan akan merubah diri sesuai
tuntutan orang lain dan banyak perempuan yang mengalami tekanan mental atas penilaian
orang lain. Zaman sekarang cantk itu harus dinilai relatif, tidak bisa dinilai secara absolut hanya
dari fisik. Itu hanya penilaian kolot yang sepatutnya tidak dibawa di zaman sekarang. Budaya
kolonial yang negatif membawa kita pada pengekangan yang tampak jelas pada perempuan.
Dalam hal ini, perempuan harus bisa bebas menentukan standar kecantikannya masing-masing
tanpa mendapatkan stigma di masyarakat. Kulit putih, kulit hitam, dan kulit sawo matang itu
sama saja. Badan ideal, kurus, dan gendut itu sama saja. Kita setara, kita manusia yang harus
memanusiakan manusia.

Pada akhirnya Kartini merupakan sosok yang harus selalu kita ingat sebagai perjuang
kesetaraan, yang mana mendobrak berbagai batasan positif pada perempuan. Di zaman ini
sebagai perempuan, kalian harus bisa mengekspresikan diri sendiri tanpa adanya penilaian dan
tuntutan dari orang lain. Perempuan harus merdeka, mari lawan segala bentuk standardisasi
yang masih melekat di masyarakat. Kolonialisme sudah berakhir ratusan tahun, jangan sampai
budaya buruknya masih melekat di Indonesia. Kita adalah bangsa multikultural yang tentunya
dari Sabang sampai Merauke mempunyai ciri khasnya masing-masing.

Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa cantik itu tidak bisa dinilai dari fisik saja.
Kalian hanya perlu tempat di mana orang lain dapat menerima kalian. Tinggalkan standardisasi
kecantikan dan jadilah cantik dengan versi terbaik masing-masing.

Tentang Penulis:

Rio Ananda Andriana, lahir di Kota Tasikmalaya dan merupakan seorang Mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta. Penulis senang dengan isu-isu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Aktivitas penulis selain menjadi Mahasiswa, yaitu sebagai Content Writer, Copywriter, Graphic Designer, serta aktif di beberapa Organisasi dan Komunitas, terutama yang berhubungan dengan isu lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close