Yuswo Hady: Millennial Trends 2016

Generasi milenial (Millennial Generation) adalah generasi yang lahir dalam rentang waktu awal tahun 1980-an hingga tahun 2000. Generasi ini sering disebut juga sebagai Gen-Y, Net Generation, Generation WE, Boomerang Generation, Peter Pan Generation, dan lain-lain. Mereka disebut generasi milenial karena merekalah generasi yang hidup di pergantian milenium. Secara bersamaan di era ini teknologi digital mulai merasuk ke segala sendi kehidupan.

Milenial memiliki nilai-nilai, dan perilaku yang berbeda dengan generasi pendahulunya yaitu Gen-X (lahir tahun 1964 hingga 1980). Beberapa literatur menyebut karakteristik mereka ditandai oleh berbagai nilai-nilai dan perilaku berikut: connected, multitasker, tech-savvy, collaborator/cocreator, social, adventurer, transparent, work-life balance, dan sebagainya. Itu secara umum. Di Indonesia, dengan latar belakang sosial, sejarah, budaya, politik, dan ekonomi yang berbeda tentu menghasilkan generasi milenial yang berbeda pula dan unik.

Inventure dan Middle Class Institute (MCI) melakukan kajian untuk melihat tren nilai-nilai dan perilaku generasi milenial di Indonesia, khususnya di kalangan kelas menengahnya. Berikut ini 13 tren yang berhasil kami temukan.

1. Millennial Wannabe
Millennial is NOT cohort. It is a lifestyle. Milenial bukanlah sebatas penanda kapan kita lahir, tapi sudah menjadi gaya hidup. Mengapa bisa begitu? Ya, karena entah kenapa milenial itu kini menjadi sebuah simbol kekerenan. Siapapun, tak peduli Gen-X bahkan Baby Boomers, merasa bangga kalau punya gaya hidup seperti milenial. Milenial bukan masalah umur; bukan masalah muda-tua. Milenial adalah ekspresi dan identitas diri. Karena itu kami perkirakan akan muncul banyak “milenial gadungan” di Indonesia. Secara umur mereka bukanlah masuk golongan milenial, namun tingkahnya, penampilannya, atau konsumsi digitalnya seperti milenial, bahkan (amit-amit jabang bayi hehehe..) melebihi milenial.

2. “Sharing is Cool”
2015 adalah steping stone dimana sharing economy mulai diadopsi konsumen Indonesia, khususnya kaum milenial, secara meluas. Tren ini dipicu oleh sukses Gojek dengan layanan ojek online-nya. Sukses layanan baru ini sekaligus membuka mata dan mengedukasi konsumen milenial Indonesia yang memungkinkan mereka melompat parit (crossing the chasm) menuju pasar mainstream. Di tahun 2016 sharing economy akan diadopsi lebih dalam dan lebih luas di sektor-sektor industri yang lain. Sektor traveling dan leisure (melalui layanan seperti: AirBnB) misalnya, bakal menjadi the next big things di tahun 2016 ini. Budaya konsumsi “share, not own” juga akan kian massif tanah air. Di dunia hiburan misalnya, kini milenial tak lagi perlu punya CD atau DVD untuk mendengarkan musik atau menonton film. Layanan-layanan berbasis cloud seperti iTunes, Netflix, Spotify, SoundCloud, dan JOOX akan kian populer.

3. “How We Consume” Is a New Lifestyle. Tools Matter!!!
Mendengar alunan musik di Spotify atau iTunes lebih keren ketimbang di radio. Nonton film di Netflix lebih keren ketimbang di bioskop atau RCTI. Lari dengan aplikasi Nike+ Running (dengan fitur: GPS, Pace Tracker, Timer, Calories, Pedometer, Music Player dan Jejaring Sosial) lebih keren untuk dipamerkan ketimbang olahraga larinya sendiri. Lagu, film, atau lari tidak penting, yang penting adalah digital tools apa yang mereka gunakan. Bagi milenial digital is awasome, karena itu gaya hidup “the digital of things” haruslah dipamerkan di media sosial. Milenial selalu punya passion luar biasa untuk menjadi yang terdepan (early adopter) dalam arus deras “the digital of things”. Ketika mereka sudah menjadi yang terdepan, maka wajib hukumnya capaian itu dipamerkan di media sosial.

4. The Rise of Instagrampreneur
Kehadiran media sosial terutama Instagram dan menjamurnya lapak-lapak online seperti OLX, Tokopedia, atau Bukalapak telah memberi peluang luar biasa bagi milenial yang cekak modal untuk berbisnis secara online. Yasa Paramita misalnya memulai brand sepatu Men’sRepublic sejak ia kelas 2 SMA hingga kini sekitar 4 tahun telah menuai omset ratusan juta sebulan. Dia cukup mendesain sepatu-sepatunya kemudian menyerahkan produksinya kepada vendor-vendor di Bandung. Tak hanya entreprneur, sekarang juga terdapat tren munculnya apa yang kami sebut amfibi, yaitu para pekerja kantoran yang menjalankan bisnis sampingan berbasis online. Iklan-iklan massif Bukalapak, Tokopedia, atau OLX secara positif mengajak para milenial menjadi digital entrepreneur.

5. Holiday Effect
Masih pekat di ingatan kita, bulan Agustus-November 2015 Indonesia dihantui krisis ekonomi yang ditandai dolar melambung dan PHK di mana-mana. Namun kita kaget luar biasa ketika di akhir tahun jalur pantura macet total selama beberapa hari oleh masyarakat yang liburan akhir tahun ke kampung. Korbannya tidak tanggung-tanggung, seorang Dirjen mengundurkan diri karena tak sanggup memprediksi dan mengatasi kemacetan yang super parah tersebut. Inilah fenomena menarik generasi milenial, bagi mereka liburan dan hiburan adalah kebutuhan super penting. Karena itu liburan tak kenal mas krisis. Dan ketika tiket pesawat dan hotel bisa diperoleh demikian mudah dan murah melalui beragam platform online (Traveloka, Trivago, Agoda, dsb), maka kebutuhan itu pun kian getol mereka manjakan. Millenials are experiencer.

6. Multi-Tribes Netizen
Komunitas online yang dibentuk di media sosial seperti grup di WhatsApp, BBM, Telegram, atau Facebook kian sophisticated. Menariknya, kini seorang milenial bisa ikut dalam belasan bahkan puluhan grup WA atau BBM sekaligus. Sebut saja grup alumni, grup teman-teman kantor, grup pengajian, grup hobi kuliner, grup nebengers, grup project team di kantor, dan lain-lain. Itu sebabnya kami menyebut mereka sebagai: “Multi-Tribes Netizen”. Netizen yang hidup di beragam suku, namun suku-suku ini tak berada di hutan, tapi ada di grup-grup media sosial. Dengan banyak grup yang dimasuki, maka mereka harus memiliki multi-split personality. Mereka harus bisa “bersandiwara” memainkan peran dan karakter yang berbeda-beda sesuai dengan tuntutan grup yang dimasuki.

7. Brand Story Matters
Millennials love story. Mereka menyukai cerita yang mengemas sebuah produk atau layanan. Dan ketika sebuah produk dan layanan memiliki cerita yang keren, maka kaum milenial begitu passionate membincangkan dan menyebarkannya ke friends, fans, followers (3Fs). Fenomena ini paling kentara terjadi di bisnis kuliner. Sejak tahun lalu, tiba-tiba kedai kopi artisan seperti Filosofi Kopi, Tanamera, ABCD, atau One Fifteenth Coffee menjadi booming di berbagai kota di tanah air. Konsep food truck seperti Amerigo atau konsep food street seperti OTW di Kelapa Gading tahun lalu begitu happening. Bahkan mal pun kini dikemas dengan brand story yang kuat seperti Aeon di BSD yang sukses mengusung tema Jepang dan memicu word of mouth luar biasa. Kami meyakini inovasi dalam menyuntikkan brand story ke dalam produk dan layanan ini bakal marak di tahun ini.

8. The Birth of Visual Generation (Gen V)
Fenomena lain yang sedang ngetren di kalangan generasi milennial adalah semakin canggihnya tools yang dipakai untuk selfie, seperti penggunaan drone, lensa kamera GoPro, dan sebagainya yang membuat hasil tampilan visual dari foto-foto selfie semakin dramatis, atau penggunaan aplikasi Periscope atau Snapchat untuk video selfie. Jika dulu gaya anak muda yang selfie hanya menampilkan foto muka saja, maka sekarang mereka mulai senang berfoto dengan latar belakang obyek yang keren. Atau supaya lebih terkesan update dan live maka video selfie pun mulai digandrungi. Tiap orang ingin menampilkan authentic self untuk meningkatkan personal branding-nya masing-masing. Dia merasa dirinya keren dan pantas untuk memiliki audience-nya masing-masing.

9. Instant Online Buying
Riset perilaku belanja online selalu menempatkan produk gadget, produk elektronik, fesyen, atau buku/majalah sebagai produk yang paling banyak dibeli secara online. Item produk tersebut umumnya dibeli di internet kemudian dikirim melalui jasa kuriri beberapa hari kemudian. Namun kini hal itu mulai berubah, milenial Indonesia mulai menikmati “instant online buying” dimana beli di internet sekarang, lalu beberapa menit atau jam kemudian barang telah diterima. Biangnya tak lain adalah Gojek yang berbekal armada pengojeknya di seluruh pelosok kota mampu mengantarkan pesanan konsumen dengan cepat (lihat layanan seperti Go-Food, Go-Mart, Go-Clean, Go-Glam, Go-Massage). Dengan munculnya layanan baru ini perilaku konsumen milenial bakal berubah, mereka akan mulai membeli barang-barang cepat konsumsi atau cepat pakai seperti makanan-minuman, sayur, buah, bumbu, obat, tukang pijat, dan sebagainya. Alfamart merespons tren ini begitu cepat dengan layanan Alfaonline.

10. “Comment Seeker” Generation
Generasi milenial adalah attention-seeker. Mereka merasa dirinya sebagai sosok bintang yang disorot kamera di jagat media sosial. Karena itu mereka gila dikomentari. Apapun minta dikomentari. Posting status di Facebook minta dikomentari. Foto selfie di Instagram minta dikomentari. Menulis di blog minta dikomentari. Semakin banyak “like” atau komentar yang didapat, maka mereka akan merasa semakin eksis. Komentar positif membuat mereka berbunga-bunga. Sebaliknya, komentar negatif membuat mereka stres, frustasi, bahkan depresi.

11. “Social Media Pressure”
Media sosial adalah media terbuka, siapapun bisa ngomong baik maupun buruk, pujian maupun cercaan. Itu sebabnya bully di media sosial sudah layaknya wabah yang menjalar cepat. Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang tekena bully? Kaum milenial adalah generasi yang sangat peduli dan menganggap serius setiap perkataan dan opini dari friends, fans, dan followers (3F) mereka. Banyak terjadi ABG milenial lebih mendengarkan 3F ketimbang orang tua dan keluarga mereka. Oleh karena itu komentar negatif, kritik, atau bully di media sosial merupakan sumber tekanan psikologis yang berat bagi milenial. Bahkan ada kasus-kasus ekstrim dimana korban bully memilih untuk bunuh diri karena tidak tahan dipermalukan di media sosial. Kesempurnaan diri yang dicitrakan di media sosial seakan menjadi harga mati yang tak boleh dicoreng oleh para haters dan bullyiers. Tuntutan ini membuat mereka selalu resah di jagat media sosial.

12. Circular Economy
Kaum milenial adalah trend-setter. Mereka selalu berusaha menjadi yang terdepan dalam hal gaya hidup, gadget, atau fesyen. Celakanya, mereka juga cepat bosan dengan gaya hidup dan produk baru yang mereka pakai. Begitu gadget versi baru keluar, maka gadget lama ditinggalkan. Padahal gadget lama tersebut baru dibeli beberapa bulan sebelumnya. Karena mereka smart, maka barang baru yang sudah tidak mereka minati dijual di situs-situs seperti OLX atau eBay. Inilah yang memicu apa yang kami sebut circular economy. Dengan adanya tren circular economy, maka situs-situs marketplace yang mempertemukan pemilik barang bekas (yang masih baru) ini bakal menggeliat di tahun 2016.

13. Two Faces of Click Activism
Secara sekilas kepedulian kaum milenial Indonesia begitu tinggi dengan begitu banyaknya masalah-masalah penting nasional yang mereka respons melalui situs seperti change.org. Heboh kasus “Papa Minta Saham” atau pelarangan layanan ojek online misalnya, direspons cepat oleh para millenial activists dengan melakukan petisi online. Namun apakah betul partisipasi, kepedulian sosial, dan nasionalisme mereka melambung dengan adanya platform petisi seperti itu? Belum tentu. Seperti menonton gelaran sepak bola di GBK, mereka hanya menjadi semacam pemandu sorak yang ingin hanyut dalam euforia dan kehebohan gonjang-ganjing masalah sosial tersebut. Ingat, “becoming a click activist is cool!” (Diriset dan ditulis bersama Suryati Veronika, Business Analyst, Inventure)

Sumber: yuswohady.com
Image: insnerds & SWA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close