Mendengar! Skill Yang Terlupakan Dan Akar Dari Segala Permasalahan Dalam Hidup

Bekasi – RumahMillennials.com | Dalam berkomunikasi, prinsip dasar dua arah itu adalah hukum yang mutlak. Apapun negara dan budayanya, manusia tetap harus berkomunikasi dua arah dengan manusia lainnya, tidak bisa satu arah. Ada pembicara ada pendengar, dan ada penulis ada pembaca.

Kalau kamu mau jadi seorang penulis, maka kamu harus banyak membaca untuk mendapatkan inspirasi dan mempertajam kemampuan menulis. Saat kamu menulis, kamu bisa merasakan bagaimana pembaca membaca tulisanmu dengan memposisikan dirimu sendiri sebagai pembaca. Itu karena kamu sudah banyak membaca jadi paling tidak tahu sebagai pembaca, bagaimana menikmati membaca tulisan baik dalam bentuk buku, artikel maupun jurnal.

Bagaimana dengan komunikasi lisan? Inilah masalah utama bagi banyak orang. Mayoritas orang fokus untuk mengasah kemampuan berbicara, karena itulah kelas – kelas public speaking permintaanya besar dan harganya tidak murah. Buku – buku soal public speaking yang ditulis oleh penulis atau public figure ternama pun sudah banyak beredar di toko – toko buku. Terlebih lagi dengan era digital seperti sekarang dimana kita bisa menjadi public speaker hanya modal kamera smartphone, akun media sosial, dan internet.

Berbicara memang penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan karir. Tetapi, banyak orang lupa kalau manusia diberkahi Tuhan satu mulut dan dua telinga. Masalahnya, orang fokus pada mulut saja tapi lupa kalau punya dua telinga. Kemampuan mendengar inilah yang paling diabaikan dan dilupakan oleh banyak orang.

Saya melatih kemampuan mendengar sejak 7 tahun yang lalu, berawal dari masalah percintaan anak muda. Sampai sekarang pun saya masih banyak belajar menjadi pendengar yang baik. Saya juga telah melatih dan mengambil peran public speaker dalam pekerjaan saya baik sebagai relawan maupun secara professional.

Kesimpulan yang saya ambil, duduk mendengarkan satu orang jauh lebih sulit dibandingkan menjadi public speaker dihadapan 1000 orang. Tidak hanya saya saja yang merasa, tapi dari analisis yang saya lakukan dalam setiap percakapan baik itu hanya sekedar nongkrong, maupun dalam skala besar seperti talkshow dan interview eksklusif, saya melihat pembicara – pembicara hebat sekalipun tidak terlalu pandai kalau menjadi pendengar.

Ada empat alasan mengapa menjadi pendengar lebih sulit daripada menjadi pembicara.

Pertama, kamu harus benar – benar fokus dan menghadirkan pikiran serta jiwa anda untuk menangkap informasi yang disampaikan lawan bicara. Berarti, anda harus benar – benar mindful untuk menjadi pendengar. Masalahnya, pikiran kita suka melayang kemana – mana, ini karena kita berpikir lebih cepat saat menjadi pendengar daripada saat menjadi pembicara. Apalagi kalau ada gangguan – gangguan kecil seperti getaran HP, orang lewat, musik, suara orang sekitar, dsb. Sulit sekali menghadirkan pikiran dan jiwa kita untuk fokus mendengar lawan bicara.

Kedua, kamu harus mengosongkan ‘gelas pikiran’. Katakanlah kamu ini seorang yang expert dibidang tertentu dengan pengalaman bertahun – tahun, lalu ada orang yang baru bergelut di bidang tersebut beberapa tahun saja, sedang mengutarakan pemikiran dan opininya akan suatu isu. Kamu harus mengosongkan ‘gelas pikiran’ yang punya pengetahuan dan pengalaman lebih dari dia, untuk memahami sudut pandangnya dia akan isu tersebut.

Tetapi, banyak orang merasa dia lebih tahu dan langsung memotong pembicaraan untuk mengutarakan apa yang diketahui. Ada juga yang memotong pembicaraan lalu melemparkan pertanyaan dengan kesan intimidasi, untuk menantang lawan bicara padahal dia belum selesai menjelaskan poin utamanya. Dalam hal ini, kita harus menekan ego dan hawa nafsu kita untuk benar – benar memahami sudut pandang lawan bicara dan mendengarkannya sampai habis. Jika ingin memberikan opini, lakukanlah di momen yang tepat bukan dengan cara main potong pembicaraan.

Ketiga, kamu tidak boleh menghakimi lawan bicara anda baik secara verbal maupun dalam pikiran saja. Sering kah anda merasa saat mendengarkan lawan bicara anda, dalam pikiran muncul banyak asumsi dan prasangka seperti:

“ye elah, gak gitu kali! Sok tahu banget”,

“oh dia pasti orangnya……..”,

“dangkal banget opininya, yang bener tuh………”,

“kayaknya gak gitu deh, mestinya tuh……..”

Asumsi – asumsi seperti ini secara tidak sadar anda keluarkan secara verbal dengan cara memotong pembicaraan di tengah – tengah, menyanggah lawan bicara saat dia belum selesai berbicara. Bisa juga dengan non-verbal dengan menunjukan gestur tubuh yang bisa membuat lawan bicara tidak nyaman seperti tatapan mata. Jika anda ingin menjaadi pendengar yang baik, jangan mengambil asumsi atau berprasangka terlalu cepat kalau belum benar – benar memahami lawan bicara.

Keempat, kamu harus memiliki kepekaan dan empati saat menjadi pendengar. Kamu tidak bisa merasa bahwa anda menjadi orang yang paling benar dihadapan lawan bicara. Dalam hal ini, obrolan hati ke hati atau curhat. Kamu harus paham apa yang dibutuhkan lawan bicaramu.

Ada yang sekedar ingin didengar dan mengeluarkan unek – unek tanpa diberi nasihat ataupun sanggahan.

Ada juga yang ingin dibesarkan hatinya agar termotivasi kembali setelah mengalami masa – masa sulit dalam hidupnya. Dia tidak butuh nasihat, sanggahan, atau apapun, tapi membutuhkan motivasi dan dorongan darimu makanya dia cerita sama kamu.

Ada yang ingin diyakinkan atas keputusanya, dia hanya bingung yang dia pilih ini benar atau tidak, dia hanya butuh keyakinan dari orang lain kalau keputusannya adalah yang terbaik untuk dirinya.

Ada yang ingin mendengar saran dan nasihat dari anda, makanya dia cerita ke anda karena percaya anda bisa memberikan solusi atas permasalahannya.

Keempat poin inilah yang menjadi alasan mengapa menjadi pendengar lebih sulit daripada menjadi pembicara. Kamu harus menekan ego, tidak menghakimi, mengosongkan ‘gelas pikiran’, peka dan berempati, serta mindful. Sayangnya, tidak ada lembaga atau organisasi yang fokus mengajarkan bagaiman menjadi pendengar yang baik. Buku – buku soal mendengar pun kalah pamor dibandingkan buku public speaking. Padahal, banyak sekali permasalahan hidup baik dalam karir maupun kehidupan pribadi berawal dari kurangnya saling mendengar dan memahami satu sama lain.

Mau tidak mau, untuk saat ini kamu harus belajar secara mandiri dan menjadikan orang – orang disekitar anda sebagai percobaan dari penerapan kemampuan mendengar. Sering – seringlah nongkrong santai, diskusi, dan berbagi pendapat dengan orang – orang yang berbeda latar belakang pendidikan dan pekerjaanya denganmu. Semakin terbiasa mendengarkan orang yang berbeda dengan kamu, semakin mudah kamu memahami perbedaan pemikiran dan sudut pandang.

Audi Rahmantio

Journalist and Publication Coordinator at Rumah Millennials The man who love to share about interesting and unique story of Indonesia as well as youth development through youth organization community. Currently, Audi started his career as public speaker in radio and being freelance MC and Moderator for several events

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close