Pandangan Dan Kritik Terhadap Kondisi Dunia Ini

JAKARTA – RumahMillennials.com | Apa yang kita rasakan terhadap dunia sekarang? Bergerak sangat cepatkah? Saya harus jujur dengan semuanya, kalau sekarang kita bergerak sangat cepat. Klise kalau mengatakan bahwa 24 jam dalam sehari itu tidak cukup karena itu tergantung kita gimana mengatur waktu dengan baik.

Alasan lain yang mungkin bisa mematahkan argumen kalau 24 jam sehari kurang adalah kitanya yang tidak bisa memprioritaskan apa yang penting bagi kita. Semua dikerjakan dan kita selalu berusaha hadir dalam kumpul-kumpul yang mungkin faedahnya kurang. Apa itu salah? Itu tergantung pandangan sebenarnya.

Kalau lihat dunia dari kacamata saya, banyak perkembangan dan tren terkini yang cepat banget. Robot buatan, internet 5G, teknik penyembuhan terbaru. Terus tiba-tiba, ada penemuan lagi, muncul tren baru, podcast misalnya. Di dunia yang sekarang dipenuhi dengan kesibukan, entah beneran sibuknya produktif atau sekedar ingin menghabiskan waktu, terus semua kegiatan diambil, yang membuat orang tidak akan sempat baca buku-buku.

Mereka cari alternatif lain dan radio streaming jadi pilihan yang utama. Cara kerjanya cocok untuk kita yang sibuk atau merasa sibuk, tinggal dengerin dan banyak esensi keilmuan praktis yang didapat. Setuju apa kata mas Yudha dalam artikelnya mungkin bisa jadi bakal lebih banyak podcaster dibanding penulis.

Foto: 9gag

Ini juga tidak kalah menarik. Smartphone dari vendor-vendor kece kayak Samsung selalu update soal generasi terkini. Misalnya, baru beberapa bulan Samsung versi terbaru dijual di pasaran, nggak lama kemudian ada lagi generasi yang lebih baru dan canggih. Satu hal yang bisa jadi kesimpulan adalah kita harus terus menerus berinovasi, karena kalau tidak kita akan ketinggalan. Kalau dalam kultur sekarang, itu sangat dibenarkan.

            Takjub kalau melihat gelagat orang di media sosial sekarang ini. Di Twitter rame-rame ngomongin isu, mereka berubah jadi orang paling kritis dan pintar, tapi kalau diajak berdebat, melempem. Sekarang juga berlomba-lomba siapa yang viral seakan itu yang berharga dan terkadang tanpa melihat isinya.

Instagram jadi media untuk branding diri, menunjukkan betapa sibuknya mereka dibanding kita yang mungkin sekarang nggak ngapa-ngapain. Jadinya, kita malah bandingin sendiri dengan orang lain terus merasa depresi. Kalau sebab depresinya kayak gitu, kesalahan bukan di orang lain, tapi di kita kenapa buang-buang waktu untuk banding-bandingin sendiri bukannya mengembangkan diri.

            Sadar atau tidak temen-temen, interaksi kita sekarang jauh lebih banyak di dunia maya. Kalau kita detail-oriented, pasti kalau hangout nggak lepas dari smartphone dimana jari-jemari kita sibuk menyapa mereka yang jauh di seberang sana tapi lupa di dekat kita ada orang yang kangen pengen punya quality time. Ngobrol in-depth jadi sesuatu yang mulai langka. Sekarang juga game-game kece bisa dimainin di smartphone, kayak ML, PUBG –sebut aja salah satunya. Bisa jadi nanti bakal jarang ketemuan di kafe, yang ada malah video call.

            Sekarang kita sibuk mencari apa value dan mengapa kita ada di dunia ini. Perlombaan mencari jati diri dan siapa yang paling banyak dampaknya pun dilakukan. Yang ada di pikiran saya adalah kenapa saat ini kita sibuk mencari value dan peran. Padahal semua agama jelas kalau peran dan tugas kita adalah beribadah dan berbuat baik, caranya aja yang beda. Jujur, itu hal yang baik, nggak ada yang salah, heran aja kita malah membuatnya jadi ribet. Mungkin yang dicari bukanlah value atau peran, tapi lebih kepada bentuk yang sesuai dengan potensi yang ada serta kenyamanan dalam bertindak.

            Di era sekarang, argumen harus menggunakan data, apa-apa segala data. Kalau tidak ada data, argumen terasa tidak jelas. Tapi jika kita dapat data yang berbeda saja, malah jadi pertanyaan. Padahal, seharusnya kita tahu bahwa metode untuk dapetin data ada banyak variabel, teorinya pun juga berbeda dan samplenya pasti juga bervariasi. Jadi, jangan kaget kalau data yang didapat berbeda karena yang kita nilai adalah manusia. Intensi, kepentingan dan perasaan bisa berubah sewaktu-waktu, kecuali dalam hal-hal yang bisa fix dan bisa diukur, contohnya jumlah sampah di Jakarta. Ujung-ujungnya kembali lagi pada pemahaman kita masing-masing.  

“Lu ngomong gitu apa sih kesimpulannya?” Itu hanya sekilas pandangan saya terhadap dunia. Kita tidak harus bertukar pengetahuan, misalnya gimana sih cara lu hemat uang. Ada kalanya kita harus bertukar pikiran supaya lebih kenal satu sama lain, apa pandangan kita terhadap dunia ini.

Konflik antar individu yang sering terjadi bukan karena hal yang ribet kayak pandangan politik kayak sekarang ini, tapi karena ketidakmauan kita untuk mengenal dan paham apa yang dipikirkan orang lain serta terbuka terhadap pandangan baru. Pendapat saya tidak sepenuhnya benar, bahkan bisa saja salah. Tapi kan dunia dipenuhi dengan hal-hal yang sifatnya relatif, kebenaran juga bersifat relatif kalau asalnya dari manusia. Bahkan hal yang salah bisa jadi dibenarkan kalau argumen kita kuat. Kecuali kebenaran dari Yang Maha Kuasa iya tidak terbantahkan.

Rizky Ridho Pratomo

Siblings Rumah Millennials Saya adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Bidang yang saya minati adalah Politik, Keamanan, Hubungan Internasional, Filsafat, Agama, Lingkungan, Pendidikan dan Pengembangan kepemudaan. Memiliki passion dalam menulis artikel dan membaca buku. Beberapa bulan lalu bergabung di Rumah Millennials dan menjadi Kepala Bidang Riset dan Pengembangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close