Menjadi Dosen Muda : Sebuah Pandangan dan Perjalanan

Saudara datang kuliah itu jangan untuk mencari nilai, tapi untuk menuntut ilmu. Kalau Saudara emang niatnya untuk menuntut ilmu, maka nilai baik akan datang dengan sendirinya.” – Prof. Bambang Sutjiatmo

Tidak pernah terpikirkan sejak bangku sekolah dulu menjadi seorang dosen merupakan profesi yang penuh dengan keberkahan. Tidak pernah juga membayangkan sebelumnya profesi dosen inilah yang juga membentuk kepribadian dan kebahagiaan yang saya rasakan saat ini. Mata hati dan raga semakin terpana ketika menjalani profesi ini dengan suka cita dan kerja keras yang nyata.

Terlalu sempit rasanya menilai sebuah profesi dari aspek penghasilan semata, penghasilan materi itu sifatnya abstrak dan relatif dimanapun kita bekerja. Tidak ada tolak ukur pasti bahwa nominal gaji besar akan jaminan kebahagiaan hakiki seseorang. Pernah suatu hari seorang senior berkata, “berjuang dengan sungguh2 dan memaknai pekerjaan sebagai dosen dengan sebaik-baiknya tidak akan membuat kita miskin”. Makna “miskin” disini tentunya tidak melulu tentang uang (penghasilan) semata, saya percaya semakin banyak kita berbagi dan berdedikasi dengan keikhlasan maka berkah duniapun akan setia hadir mencukupkan kebutuhan duniawi. Saya merasakan itu.

Setelah hampir 8 tahun saya berkarya menjadi dosen, pada akhirnya saya bisa memaknai apa yang dimaksud dengan senior saya mengenai arti sebenar-benarnya dari yang dimaksud “tidak miskin”. Benar sekali adanya, profesi dosen membuat kita akan “kaya” akan banyak hal. Mapan dalam penghasilan hanyalah sebagian kecil dari berkah mulia lainnya. Selain faktor penghasilan, adanya kenaikan derajat dan status sosial sebagai dosen (You’ll get first level of respect by being a lecturer) tanpa harus diminta. Punya banyak relasi dan koneksi dengan berbagai macam stakeholder seperti pemerintah dan swasta dari dalam ataupun luar negeri. Bisa kenal dan menjalin silahturahmi tanpa batas dengan puluhan ribu mahasiswa/i yang pernah mendapat siraman Ilmu dari kita sebagai dosen. Mendapat kesempatan berkarya dalam pemenuhan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat secara berkala sangat mendewasakan diri sebagai dosen yang harus terus bertumbuh dan berpikiran terbuka.

            

Dosen yang mulia, tidak pelit dan perhitungan dalam berbagi Ilmu. Ia tidak memperlakukan ilmu selayaknya barang yang dapat dijual belikan, melainkan menjadikan ilmu sebagai ladang ibadah dan kontribusi nyata sebagai pendidik yang berintegritas.

Banyak orang punya perspektif sempit mengenai profesi dosen, banyak juga dosen yang menganggap profesi ini sebagai profesi numpang lewat, bahkan untuk “keren-kerenan” semata. Padahal melalui profesi ini bisa hadir segudang kesempatan dikehidupan kita. Sebut saja menjadi ada kesempatan untuk menjadi pembicara, juri pemilihan kontes, ikut workship/pelatihan gratis, bepergian/melancong keluar negeri, jaringan pertemanan yang semakin luas, kesempatan untuk mengenal banyak karakter manusia sebagai ajang pembelajaran, bertindak sebagai edupreneur, bahagia batin dan lahir karena banyaknya energi positif disekelilingnya dan masih banyak kesempatan baik lainnya.

Menjadi dosen tidak hanya bicara kuantitas (jabatan, peringkat, background lulusan dan penguasaan ilmu) semata tapi lebih mengedepankan faktor kualitas. Dosen yang amanah akan mengajar dengan persiapan yang baik, tidak hanya mengandalkan materi yang sudah usang apalagi tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Perlu dipahami dengan perubahan karakter mahasiswa yang berasal dari generasi millenial, dosen harus lebih mendepankan pendekatan student-centered learning. Karakter serba instan dan cepat memungkinkan mahasiswa “made in google” yang bisa lebih informatif dari dosennya perihal informasi dan berbagai hal. Tapi jangan sampai dosen “ketinggalan zaman” hanya karena malas serta enggan untuk “upgrade diri”. Mempersiapkan diri secara optimal berarti menghargai profesi yang dijalani dan menghargai para mahasiswa/i yang kelak akan menjadi individu sukses kelak. Ingatan mahasiswa akan dosennya akan dikenal sepanjang hidupnya, pastikan rekam jejak menjadi seorang dosen dapat menjadi “kenangan indah” , bukan malah menjadi “mimpi buruk” bagi mereka.

Mereka seakan tidak sadar bahwa seberapa besar pengaruh mereka terhadap kehidupan mahasiswa/i yang dididiknya. Dosen yang tadinya dilihat sebagai teladan (role model) akan dicap gagal atau bahkan mendapat predikat “dosen abal-abal” kalau tidak berhasil dalam memberikan inspirasi dan transformasi diri anak didiknya.

Mendidik yang baik sepantasnya perlu dibarengi dengan hati nurani, tidak hanya mendewakan kompetensi duniawi. Perlu disadari juga bahwa tanggung jawab moral seorang dosen sebagai pendidik ada diranah Ilahi bukan hanya memberi pencerahan teknis mahasiwa/inya. Sehingga perlu direnungkan, Ilmu yang disampaikan dengan hati nurani dan disertai cara penyampaian yang baik akan menjadi kebaikan mulia yang berlipat dampaknya bagi diri seorang dosen.

Sementara Ilmu dengan penyampaian seadanya hanya akan menghasilkan mahasiswa/i robot dengan karakteristik “referal thinker“, pola pikir dan intelegensia yang berbasis pada teks referensi yang sudah ada, tidak ada ruang “improvement” disana. Ruang berpikir, daya kreativitas dan imajinasi otak kanan akan kerdil karena stimulus yang diberikan oleh dosen tidak maksimal.

Ujung2nya yang disalahkan adalah mahasiswa/i, padahal “response” berbanding lurus dengan “stimulus” yang diberikan. Banyak dosen yang khilaf dengan menganggap dirinya sebagai “dewa” yang memperlakukan mahasiswa/i sesuai kehendak dirinya, mereka terperangkap dalam situasi power syndrome, sense of intellectual arrogance dan google syndrome (merasa paling mengetahui banyak hal). Semoga kita dijauhkan dari karakter dosen dan pendidik yang arogan seperti ini. Punya banyak “haters” ketimbang “lovers” akan mengurangi kadar kebahagiaan dalam mengajar.

Jean Piaget mengungkapkan, “Tujuan utama pendidikan adalah menciptakan manusia yang bisa melakukan hal baru, tidak sekedar mengulang apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya . Manusia yang kreatif, memiliki daya cipta, memiliki hasrat keingintahuan.”

Pendidikan yang sempurna lahir dari proses perubahan yang diselami dengan pendekatan “Intellectual Humility“. Mahasiswa/i yang ada dihadapan dosen sudah sepantasnya diperlakukan sebagai “subjek” perubahan, bukan “objek perubahan”. Dengan memahami sudut pandang ini maka proses transfer ilmu perlu dilakukan dengan cara, gaya dan daya yang memanusiakan mahasiswa/inya. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah dengan penggunaan bahasa penyampaian bahan ajar yang mudah dimengerti. Pemberian contoh bahan ajar yang dekat dengan dunia mereka dan serta situasi masa kini. Banyak dosen yang lupa bahwa mahasiswa/i hadir kedalam kelas dengan tingkat kematangan (ilmu, emosi, pengetahuan dan kemampuan) yang berbeda. Pendekatan “grassroot” perlu dikedepankan agar bahan ajar yang diberikan mudah dipahami dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Dosen yang baik, harus sehat jasmani (fisik) dan rohani (mental). Salah satu ujian terberat sebagai dosen ialah “Classroom Management“, ini erat sekali dengan kecerdasan emosi (EQ) seorang dosen. Pintar, cerdas, dan punya latar belakang edukasi yang mumpuni tidak cukup membantu kita menjadi “dosen sukses” didalam kelas. Perlu adanya kemampuan khusus dalam hal penguasaan serta pengelolaan emosi dalam menguasai mahasiswa/i sebagai penghuni kelas. Terpancing emosi dan mengumbar kemarahan didalam kelas akan menjadi “boomerang” tersendiri bagi dosen. Versi dosen teladan menurut saya adalah ketika ada dosen yang mampu berdamai dengan hati dan dirinya sehingga tidak sirna termakan sifat egoisme diri.

Mahasiswa/i adalah pengamat (observer) terbaik didalam kelas, just make sure we can gain their heart & attention with an elegant way. Dosen perlu mahir untuk menciptakan suasana yang terbuka, santai tetapi tetap tegas dan serius. Seperti layaknya seorang “Conductor” yang memimpin suatu pertunjukan. Our class is our own stage & it’s belong to us as a lecturer… to share, to educate, to entertain and to inspire, our best results shown by the students with their “standing applause”…

Ini yang perlu disadari oleh para kaum muda (millenial generation) yang berkeinginan dan mulai tertarik menjadi seorang dosen atau pendidik diusia muda. Saya sendiri memulai profesi ini diusia yang relatif muda, 23 tahun. Sejak tahun 2010 lalu, saya memperhatikan perubahan tren millenial dalam pemilihan profesi yang akan diambil pasca kelulusan mereka. Profesi dosen mulai dilirik mereka sebagai ladang kontribusi dan pemenuhan aktualisasi diri ditahap awal pembentukan jati diri sebagai individu dalam menuju pendewasaan. Sebagian dari mereka, yang juga merupakan generasi intelektual, merasa mereka akan semakin pintar ketika mendapat kesempatan untuk sering berbagi kepada sesama.

Kesempatan mengajar dapat menjadi salah satu momentum bagi generasi milenial untuk bisa berbagi tanpa batas. Oleh karenanya profesi dosen dianggap sebagai alternatif pilihan pekerjaan yang menarik, dibandingkan pekerjaan yang lain.

Saat ini sudah banyak dijumpai dosen usia yang relatif muda. Bisa kita perhatikan bersama saat ini banyak dosen baru berusia muda di bawah 30 tahun yang mengisi ruang kuliah atau laboratorium di berbagai universitas negeri atau swasta di bumi nusantara ini. Fenomena ini hadir karena berbanding lurus dengan adanya sistem pendidikan dan pesatnya kemajuan teknologi. Dua hal ini memungkinkan pemuda/i dari generasi millenial mampu menyelesaikan strata pendidikan tingginya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ditambah dengan hadirnya ribuan kesempatan untuk mendapatkan biaya kuliah gratis dari berbagai lembaga penyedia beasiswa dalam ataupun luar negeri. Murid yang dipersenjatai dengan informasi akan selalu memenangkan pertempuran (Meladee McCarty)

Para dosen muda ini biasanya dikenal idealisme kuat dengan paket kompetensi yang lengkap, punya rasa ingin tahu yang besar dibidangnya dan bersemangat tinggi walaupun masih minim pengalaman. Walaupun begitu tidak bisa dipandang sebelah mata, rekan saya Reza Zaki (26 tahun) telah menjadi Kandidat Doktor Hukum Bisnis di Universitas Padjajaran – Bandung). Prestasi dan pengalamannya segudang diantaranya pernah menjadi Wakil Presiden Mahasiswa UGM , Founder dan Coordinator Komunitas Mahasiswa dan Siswa Anti Korupsi Indonesia (2012), Pemimpin Redaksi Garis Anti Korupsi Seluruh Indonesia (AKSI), Director World Trade Model Community UGM(2014), Ketua Rumah Imperium (2013-Sekarang), Kepala Departemen Kewirausahaan dan Ekonomi Ummat ICMI DKI Jakarta (2015), Delegasi Harvard World Model United Nations (HWMUN), Belanda, Swedia (2009), Co-Chairman 1st Indonesia Model World Trade Organization, 100 Young CEO’s Indonesia , 100 Mahasiswa Berprestasi UGM, 8 Komunitas Sosial Terbaik Indonesia Nutrifood & British Council (2014), Finalis Anugerah Pelopor Pemberdaya Masyarakat dari Gubernur Jabar (2015), seorang dosen, penulis buku dan pengusaha. Ada lagi salah satu contohnya Riana Sugihatmaja, kelahiran 8 November 1992 asal Yogyakarta juga sudah dipercaya menjadi dosen bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan Yogya.

Prof. Rhenald Kasali dalam artikel Kompas, 15 September 2014 bertajuk (Naiknya “Harga” Dosen), membahas bahwa dimasa yang akan datang tidak semua orang dapat menjadi dosen tetap disuatu perguruan tinggi. “Peta pasar” tenaga akademik memasuki babak awal perubahan, menurut Prof. Rhenald Kasali akan terjadi kemungkinan adanya market shrinking, “Populasi pasar tenaga akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Dosen tetap akan menjadi rebutan, “harganya” akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan.

Berdasarkan Permendikbud No 84/2013, dikeluarkan Mendikbud 12 Juli 2013, ini turunan dari UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan konsep penataan Perguruan Tinggi yang memberi value yang lebih baik bagi para dosen. Menurut peraturan ini, untuk mengurus NIDN,selain perlu mempunyai kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan Inggris (TOEFL minimal 510, PBT), seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun (kecuali mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus). Oleh karena itu karir dan profesi dosen perlu diambil sedari muda karena berjenjang, jangan tunggu bergelar Doktor atau menjelang pensiun dulu baru melamar menjadi dosen.

Menjadi lebih muda, berpendidikan, tertata, kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih dihargai. Dan tentu harganya akan lebih mahal.” Beberapa dari dosen muda pun punya jargon, “kalau bisa jadi dosen diusia muda kenapa harus nunggu tua?”, “kalau bisa mengajar sambil belajar, kenapa nunggu belajar sampai pintar baru mengajar?”….

Sama seperti profesi lainnya, menjadi dosen dihadapkan pada dua pilihan. Menjadi dosen tetap (full time lecturer) atau dosen paruh waktu (part time). Keduanya punya konsekuensi dan manfaat yang berbeda. Dengan menjadi dosen part time, kita bisa mengerjakan hal lain selain mengajar, misalnya berbisnis atau mengajar dibeberapa institusi yang berbeda. Beda halnya dengan dosen part time, menjadi dosen full time ada jenjang karir multi tugas yang perlu dilewati.

Satu hal yang perlu kita ingat kembali bahwa menjadi dosen tetap atau paruh waktu di Indonesia tidak diperlukan tahapan yang ketat, sistemik dan ribet. Beda hal seperti diberbagai negara di Eropa atau Jepang misalnya. Untuk menjadi dosen perlu menuntaskan beberapa persyaratan prosedural seperti perlu ada tulisan dan disertasi yang dibukukan baru seseorang dapat diangkat sebagai dosen tetap. Belum lagi iklim persaingan (kompetisi) yang ketat karena “track record” berupa portfolio seperti publikasi ilmiah dan beberapa persyaratan akademik lain sangat menentukan seseorang dapat menjadi dosen atau tidak.

Sementara untuk menjadi dosen di Indonesia, persyaratannya tidak seketat itu dan cenderung lebih mudah. Dengan mengantungi ijazah Master (S2), dibidang tertentu disertai pengalaman kerja 1-2 tahun, seseorang dengan kompetensi tersebut dapat melamar sebagai dosen diberbagai instansi perguruan tinggi negeri atau swasta.

Bagaimana dengan jenjang karir seorang dosen muda? Menurut saya, setiap dosen punya starting point yang berbeda dalam memulai karir dosennya. Ditingkat awal ketika seseorang baru mulai mengajar dia akan mendapat label (Tenaga Pengajar), setelah melewati 1 tahun ketika dinilai memiliki performa yang prima maka dia akan memiliki label (Asisten Ahli). Setelah itu ketika dia mampu untuk produktif dalam menjalani kewajiban tri dharma perguruan tinggi (rutin penelitian dan pengabdian minimal 1 tahun sekali) dengan baik dan penuh komitmen, selanjutnya bisa mendapag label (Lektor), lalu (Lektor Kepala), hingga akhirnya mencapai jenjang kepangkatan tertinggi dalam dunia akademik yaitu menjadi (Guru Besar) setelah pointnya memenuhi kriteria kepangkatan yang telah ditentukan.

Dalam berkarir sebagai dosen, cepat atau lambat karir ditentukan oleh produktivitas, kemampuan dan determinasi masing-masing individu. Semakin rajin memproduksi karya ilmiah dan diterbitkan kedalam jurnal akreditasi, semakin pesat kemajuan karir seorang dosen. Setiap “track record” dosen ada nilai ekonomi dan reputasinya, sehingga perlu dijaga dan dijalani dengan komitmen yang tinggi. Dosen teladan selayaknya harus punya panggilan untuk lebih melayani tugas Tridharma perguruan tinggi yang kuat, penuh komitmen dan disiplin.

Ketika kau tak mampu mendidik dengan lisanmu, didiklah dengan langkahmu, karena langkahmu lebih nyata dari lisanmu…– Taufan T. Akbari

Author :

Taufan Akbari (@mrtaufanakbari) is an Educator and Youth Leadership Analyst . Recently, Taufan initiated ‘Inspirasi Dosen (@inspirasidosen) ; Indonesian Lecturer’s Hub and Rumah Millennials’ (@rumah.millennials) a millennials platform (hub) –  to share, connect and inspire Indonesian youth. He is knowledgeable as a youth enthusiast, event planner, and also a public speaker and moderator at variety of events. His interest and passion is to empower Indonesian youth which encouraged him to always share and learn in order to keep share, teach, learn and update the knowledge. Email : mrtaufanakbari@gmail.com ; IG : @mrtaufanakbari 

Comments (13)

  • Kencanasays:

    June 4, 2017 at 2:06 pm

    Pak, lowongan dosen PTN itu di publish di Universitas nya langsung atau dimana ?

    Selama ini yg sya liat jadi dosen baru di kampus saya, karena org tua mereka dosen ?

    Bisa sharing ke saya. Apa realistis n peluang nya bagaimana untk menjadi dosen PTN.

  • Dhiyasays:

    August 28, 2017 at 6:59 pm

    Saya sgt tertatik untuk menjadi dosen sebelumnya, setelah membaca postingan bapak, saya semakin ingin mewujudkan impian sy untuk menjadi dosen, terimakasih.

  • mentarisays:

    September 27, 2017 at 3:17 pm

    bapak berhentilah membuat bahasa pembodohan. penghasilan tidak memberikan kebahagiaan. ini statmen ambigu oleh seorang ilmuan. apa bapak pernah melakukan penelitian tentang penghasilan dan kebahagiaan. sekarang gaji pns (kecuali dosen pns) semuanya diatas 5 jt. karena semuanya dapat remunerasi dan tunjangan daerah. dosen dapat sertifikasi tapi tidak semua dapat serdos(karna syarat dan tesnya sulit). Banyak dosen gajinya 3 jutaan. tahun 2018 gaji tni polri terendah 14 jt. semua orang yang mendapat penghasilan besar merasa bahagia, itu manusiawi. j

    • rembulansays:

      October 25, 2019 at 5:00 pm

      wkwkwk pasti gak kuliah ya mentari. korban mahalnya sekolah pas jaman ordebaru? belajar memahami kontekstual kalimat kk. singkat kata sekolah SD lagi memahami terminologi masing2 kata

  • munajatsays:

    June 27, 2018 at 3:35 am

    saya pribadi mempunyai tujuan untuk bisa bermanfaat di indonesia. dosen ibarat hanya jalan tujuan cita cita saya semoga bisa menjadi ilmuan yang bisa mepaten kan banyak karya dan bisa di gunakan oleh masyarakat luas. semoga terwujud. dan maju lah ilmuan indonesia

  • /ˈlɛkʧərə/ – Baca tulissays:

    April 20, 2021 at 5:21 pm

    […] Prof. Rhenald Kasali dalam artikel Kompas, 15 September 2014 bertajuk (Naiknya “Harga” Dosen), membahas bahwa dimasa yang akan datang tidak semua orang dapat menjadi dosen tetap disuatu perguruan tinggi. “Peta pasar” tenaga akademik memasuki babak awal perubahan, menurut Prof. Rhenald Kasali akan terjadi kemungkinan adanya market shrinking, “Populasi pasar tenaga akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Dosen tetap akan menjadi rebutan, “harganya” akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan. Artikel lengkapnya bisa di akses di Rumah Millenials. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RM Informations

Press Release
Future Destination
Community Ambassador (soon)
Next Event (soon)
RM Campus Network
RM Community (soon)
RM Contributor (soon)
RM Development (soon)
Archive

Press ESC to close